Indonesia Butuh Pemimpin Seperti "Ali Sadikin"

Melihat Indonesia yang majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, agama dan ras, membuat Indonesia sebuah negara yang kaya dan kuat, namun dengan kemajemukan tersebut, bangsa Indonesia juga menjadi sasaran empuk bagi issue SARA dan sangat rawan terjadi perpecahan karenanya.

Maka daripada itu, Indonesia membutuhkan Pemimpin yang tegas dan tidak ragu-ragu dalam bertindak, Pemimpin yang tidak takut dengan segala diskriminasi dan penolakan, untuk melakukan suatu kebaikan dan memajukan bangsa serta menjaga keutuhan kesatuan NKRI.

Kepemimpinan SBY yang melankolis dan syarat dengan pencitraan membuat kepemimpinannya menjadi sangat ragu-ragu dalam mengambil keputusan yang membuat eksekutif serta aparat negara tidak bekerja dengan maksimal dan tidak solid.

KENAPA ALI SADIKIN..?

Mungkin figur kepemimpinan yang dapat saya anggap ideal untuk Indonesia adalah figur Ali Sadikin.

Sosok Ali Sadikin dikagumi sebagai sosok pemimpin yang tegas, berani, konsisten, dan disiplin. Salah satu pesan Bang Ali (nama akrab Ali Sadikin) adalah, ”Kalau menjadi pemimpin, jangan ragu-ragu.” Bang Ali memang dikenal sebagai Gubernur yang banyak menggusur, tetapi masyarakat akhirnya bisa menerimanya karena apa yang dilakukannya terbukti untuk kepentingan rakyat banyak, seperti fasilitas umum.


Baginya, Jakarta adalah ”sebuah perusahaan besar” yang harus dikelola dengan baik. Gubernur dan jajarannya adalah direksi. DPRD DKI adalah komisaris yang wajib mengontrol langkah ”direksi” . Rakyat atau warga Jakarta ditempatkan sebagai pemilik dan pemegang saham DKI Jakarta. Untuk itulah, setiap langkah kepemimpinannya selalu untuk kepentingan rakyat.

Ia tak pernah lelah menyuarakan kebenaran hingga mengalami perlakuan diskriminatif dari rezim Orde Baru, mulai dari larangan ke luar negeri hingga hambatan lainnya.


SIAPAKAH BANG ALI ITU...?

Bagi generasi muda yang kurang banyak tahu mengenai Ali Sadikin, tulisan ini bisa membantu untuk “mengenal” mantan Gubernur Jakarta itu.

Ini ada beberapa kutipan dari wawancara wartawan Tempo Setiyardi dengan Bang Ali, September 2005.

Mengapa Anda mengusulkan agar judi kembali dilegalkan di Jakarta ?

Saya ingin bersikap realistis dan tidak munafik. Ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta (1966-1977), saya melegalkan judi karena pemda tak punya anggaran cukup. Padahal saat itu butuh banyak uang untuk membangun sekolah, puskesmas, dan jalan.

Alim ulama semua meributkan, tapi saya bilang ke mereka, kalau mengharamkan judi, mereka harus punya helikopter. Soalnya, jalan-jalan saya bangun dari uang judi. Jadi, jalan di Jakarta juga haram.

Jadi, Anda tahu bahwa agama sebenarnya mengharamkan judi?

Ya! Saya tahu judi itu haram. Tapi kita harus memikirkan masyarakat kecil. Demi judi, saya rela masuk neraka. Tapi saya yakin Allah mengerti apa yang saya perbuat. Saya jengkel dengan orang-orang yang mengaku Islam itu.Mereka merasa dirinya malaikat. Mereka masih berpikir seperti abad ke-15.

Bagaimana potret judi di Jakarta sekarang? Apakah akan memberi kontribusi besar?

Dari pelbagai sumber saya, jumlahnya mencapai triliunan rupiah per tahun. [Ia menyebut nama-nama sumbernya, "Tapi jangan dimuat, off the record," katanya]. Kalau judi di Jakarta legal, Pemda DKI Jakarta bisa mendapat uang sekitar Rp 15 triliun per tahun. Itu jumlah yang besar.

Bisa untuk membangun macam-macam. Untuk melanjutkan Proyek Banjir Kanal Timur, mendalamkan sungai, membuat rumah susun, membangun jalan-jalan. Proyek-proyek itu tak bisa ditunda lagi. Padahal pemerintah tak punya uang untuk menjalankannya.


Siapa penguasa bisnis judi di Jakarta sekarang?

Jangan tanya saya. Tanyakan ke aparat keamanan yang sekarang jadi beking mereka. Polisi pasti tahu siapa saja pemain yang ikut terlibat.

Bagaimana bila rakyat miskin ikut bermain judi?

Itu bisa diatur. Judi bisa ditujukan hanya untuk orang kaya etnis Cina. Bagi orang Cina, bermain judi adalah budaya. Itu untuk membuang sial. Makanya, dulu zaman Belanda kegiatan berjudi juga disahkan. Sekarang sebetulnya banyak bisnis judi di Jakarta. Banyak aparat keamanan yang jadi beking. Tapi kita ini orang munafik.


Tapi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang mendominasi DPRD Jakarta, tak setuju usul Anda…

Alaaa, itu…. (Bang Ali mengeluarkan kata mengumpat —Red). Waktu saya bicara soal judi di DPRD Jakarta, yang berani bicara cuma satu orang. Tapi di surat kabar persoalannya jadi ramai. Kalau berani, suruh PKS bicara dengan saya. Saya akan tanya, apakah mereka bisa memberikan pekerjaan ke para pengangguran. Apakah bisa memberi uang Rp 15 triliun per tahun untuk Jakarta. Kalau memang bisa, bolehlah PKS mengharamkan judi.


PKS juga ingin menghapuskan hiburan malam yang berbau maksiat?

Itu sikap sok-sokan. Mereka harus sadar kita hidup di abad modern. Jangan merasa hebat dengan Islam-nya. Pemerintah, pengadilan, tentara, semua orang Islam. Tapi toh korupsi nomor satu. Jadi, jangan sombong dengan membawa-bawa Islam. Kalau cuma bicara sambil mengutip ayat, itu cuma untuk mencari popularitas. Mereka mau jadi penguasa.

Apakah Anda juga setuju dengan lokalisasi prostitusi?

Ya. Saya yang membuat lokalisasi di Kramat Tunggak. Soalnya, ketika itu banyak berkeliaran “becak komplet” yang isinya wanita tunasusila. Daripada berkeliaran di jalan, lebih baik dibuat lokalisasi khusus. Sekarang juga banyak ABG di mal-mal yang menjadi wanita tunasusila. Mengapa tidak kita lokalisasi saja? Itu lebih baik.

Saya heran Pemda DKI dan DPRD menutup Kramat Tunggak. Saya sudah bilang ke Sutiyoso, “Memang nanti Sutiyoso masuk surga. Kalau saya, sih, akan masuk neraka.”


Anda juga mengusulkan konsep megapolitan, kesatuan Jakarta dan kota-kota di sekitarnya. Apa ide dasarnya?

Kota-kota kabupaten itu? Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok? Pembangunannya harus disatukan dengan DKI Jakarta. Konsep ini telah dirintis sejak zaman Bung Karno. Belakangan, kita mengenal sebutan Jabotabek. Kalau perencanaan pembangunannya bisa disatukan, kita akan memiliki konsep yang terpadu. Mereka dapat saling menunjang.

Apakah mungkin?

Sangat mungkin. Saya mengirim surat ke Presiden Yudhoyono untuk memberi masukan soal ini. Saya dan Sutiyoso lalu diterima Presiden membicarakan konsep ini. Pada prinsipnya, Presiden mendukung. Beliau bahkan sudah terlihat akan bergerak ke arah usulan itu. Untuk menjalankannya, Presiden bisa membuat Keppres. Tapi akan lebih baik bila pemerintah mengusulkan sebuah undang-undang tentang megapolitan itu.


Mengapa perencanaan pembangunan Jakarta dan kota sekitarnya harus jadi satu?

Agar terintegrasi. Banyak contoh kasus akibat perencanaan yang tak sinkron. Misalnya persoalan pabrik pengolahan sampah di Bojong, Bogor. Mereka tak mau wilayahnya dibuat jadi pabrik sampah. Padahal Jakarta tak punya tanah untuk mengolah sampah.

Mereka tak tahu bahwa pabrik sampah Bojong dibuat perusahan Jerman. Semua sampah diangkut truk khusus yang tertutup. Tak ada sampah yang ditimbun di tanah. Semua akan diolah dalam pabrik menjadi batu bata. Pabrik itu membutuhkan 1.300 pegawai yang bisa direkrut dari masyarakat sekitar.

Penolakan itu karena ada yang menghasut. Mungkin juga karena melihat kasus di Bantar Gebang, Bekasi. Padahal konsepnya sangat berbeda.


Apakah konsep megapolitan akan mencaplok wilayah Jawa Barat dan Banten?

Konsep ini tak mencaplok wilayah Jawa Barat dan Banten. Sebagai orang Sunda, saya tak setuju kalau Jakarta mengambil wilayah Jawa Barat. Konsep ini untuk menyatukan perencanaan pembangunan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok. Semua jadi satu konsep dan satu arah. Soal administrasi, mereka masih ikut Jawa Barat dan Tangerang ikut Banten. Pajak daerah masih untuk mereka.


Mengapa tanggung? Bukankah lebih mudah bila dilebur jadi satu provinsi?

Memang ada yang ekstrem. Bupati Bekasi, misalnya, ingin jadi bagian Jakarta. Selama ini mereka merasa ketinggalan. Tapi saya tak ingin Jawa Barat kehilangan wilayah. Jawa Barat juga punya sejarah panjang yang harus dijaga. Sebagai orang Sunda, saya merasa terhina bila wilayah Jawa Barat dicaplok Jakarta.

Saya tak ingin kasus Banten terulang. Karena Bandung tak memperhatikan Banten, lalu mereka jadi provinsi sendiri. Tapi sekarang Banten tak maju-maju. Gubernurnya malah jadi tersangka korupsi.


Bila konsep megapolitan dijalankan, apa keuntungan kota-kota di sekitar Jakarta?

Jakarta harus membantu keuangan Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Depok. Bisa saja Jakarta memberi tiap kota Rp 500 miliar per tahun. Jakarta juga bisa memberi bantuan tenaga ahli. Kita harus saling mengisi. Jadi, ini akan saling menguntungkan. Saya sudah membicarakan konsep ini di DPRD Jakarta. Sekarang menunggu reaksi mereka.


Konsep Anda sejalan dengan gagasan Gubernur Jakarta Sutiyoso?

Saya memang penasihatnya. Saya bilang ke Sutiyoso untuk merencanakan Jakarta dengan matang. Dulu saya membuat master plan Jakarta untuk 20 tahun. Itu membuat saya dibanggakan oleh masyarakat Jakarta, bahkan oleh rakyat Indonesia. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan gubernur selanjutnya. Padahal membangun sebuah kota tidak mudah.


Mengapa Anda mau menjadi penasihat Sutiyoso?

Saya tahu dia dimusuhi banyak orang. Dia juga kontroversial. Tapi saya suka Sutiyoso karena keberaniannya. Dia juga punya ide untuk Jakarta. Memang Sutiyoso harus menerima pelbagai risiko.

Selain itu, saya merasa Sutiyoso orang yang mengerti adat ketimuran. Dialah satu-satunya Gubernur DKI Jakarta yang pada awal jabatannya tahun 1996 menemui saya. Ketika itu Soeharto masih memusuhi saya.

Sutiyoso datang untuk minta masukan. Gubernur yang lain tak pernah melakukan hal itu. Mereka tak tahu adat-istiadat. Padahal, kalau mereka datang, mereka yang untung. Itulah sebabnya dulu saya juga mendatangi bekas gubernur dan wali kota di DKI Jakarta untuk minta masukan mereka.


Anda resmi diangkat sebagai penasihat Gubernur DKI?

Ya. Sebagai gubernur, dia berhak mengeluarkan SK pengangkatan penasihat gubernur. Dengan jabatan itu, setiap bulan saya mendapat gaji Rp 600 ribu. Itu saya anggap tambahan saja. Soalnya, sebagai pensiunan gubernur, menteri, dan tentara, saya mendapat sekitar Rp 5 juta. Selain itu, pemda juga memutuskan saya tak perlu membayar listrik dan air PAM. Saya dianggap sebagai tokoh masyarakat.


Apa pendapat Anda soal kondisi Jakarta sekarang?

Makin berat. Kemacetan lalu-lintas terjadi di mana-mana. Saya orang yang tidak sabar dan bersikap kepala batu. Makanya saya berharap konsep megapolitan itu bisa menolong. Kota-kota di sekitar Jakarta harus menjadi satelit yang mandiri. Jadi, mereka harus mengurus kotanya. Ada perkantoran, industri, dan lain-lain. Kota Rotterdam di Belanda, misalnya, jumlah penduduknya turun karena ada kota-kota satelit di sekitarnya.


Anda pernah membuat perencanaan pembangunan Jakarta untuk 20 tahun. Mengapa tak jalan?

Gubernur Tjokropranolo, penerus saya, melakukan gerakan de-Ali-Sadikin-isasi. Semua kebijakan saya dihapuskan. Soalnya, ketika itu saya mulai bicara keras soal pemerintahan. Bersama Bung Hatta dan Jenderal Nasution, tahun 1978 saya mendirikan Yayasan Kesadaran Berkonstitusi. Kami melihat Soeharto mulai melenceng.

Setelah itu, tahun 1980 saya membuat Petisi 50 yang menjadi oposisi bagi Soeharto. Itu membuat saya dianggap menjadi musuh pemerintah. Tapi saya merasa Tuhan menjaga saya. H.R.Dharsono, Ali Moertopo, dan tokoh lain sudah meninggal. Sampai sekarang saya tidak ada apa-apa. Saya malah bisa berlebaran ke Cendana. Soeharto saya rangkul dan saya beri sun. Saya tidak menaruh dendam ke Soeharto.


Anda juga tokoh penting dalam sejarah TNI-AL. Bagaimana Anda melihat Angkatan Laut kita saat ini?

Saya sedih melihat nasib Angkatan Laut. Padahal kita ini negara maritim, tapi kita takut dengan laut. Yang dibesar-besarkan justru konsep teritorial. Itu kebijakan yang salah arah. Akibatnya, kondisi AL nyaris lumpuh. Yang ada kapal-kapal tua. Bagaimana mungkin berperang dengan Malaysia? Kita bahkan tak mampu menjaga perairan kita dari serbuan nelayan asing.


Dulu, apa yang Anda lakukan?

Untuk merebut Irian Barat, tahun 1960 saya lima kali ke Rusia. Ketika itu jabatan saya Deputi II Menteri Kepala Staf Angkatan Laut. Kita membeli 150 kapal perang dari Rusia. Empat belas di antaranya kapal selam. Total harga kapal-kapal itu US$ 800 miliar. Karena tak punya uang, kita pinjam dari Rusia. Untuk mengoperasikannya, saya mengirim para prajurit kita ke Rusia. Nah, melihat kekuatan mesin perang kita, Amerika dan PBB akhirnya memerintahkan Belanda keluar dari Irian Barat.

Omong-omong, mengapa Anda masih saja bersikap keras?

Itu sudah bawaan saya. Saya ini kepala batu. Kalau marah sering keluar kata “goblok!” Saat jadi gubernur, saya juga sering menempeleng bawahan yang salah. Saya juga ikut memukul copet yang tertangkap. Tapi, kalau sudah sampai di rumah, saya justru sedih. Saya kemudian sering memanggil orang-orang yang saya pukul. Saya tanya tentang keadaan mereka.

”I’m strong. You have to be strong.”

Bang Ali meninggal dunia di Rumah Sakit Gleneagles, Singapura, Selasa, 20 Mei 2008, sekitar pukul 16.30, dalam usia 82 tahun, tiba di rumahnya, Rabu, sekitar pukul 08.45. Bang Ali meninggal karena sakit lever dan komplikasi penyakit paru-paru.


Kondisi mantan Gubernur DKI Jakarta itu mulai drop sejak April lalu dan sempat dibawa ke Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, selama 8 hari, kemudian dipindahkan ke Singapura. ”Kondisinya makin menurun,” kata putra Ali Sadikin, Boy Bernardi (52).


Sekretaris pribadi Bang Ali, Mia, yang mendampinginya selama lima minggu di Singapura, menceritakan, kalimat terakhir yang diucapkan Bang Ali sebelum meninggal adalah, ”I’m strong. You have to be strong.”

Ali Sadikin juga sering memberikan nasihat kepada Presiden tentang pentingnya menegakkan kerangka bernegara Pancasila. Pernyataan itu disampaikan Presiden ketika melayat ke rumah Ali Sadikin, akrab disapa Bang Ali, di Jalan Borobudur, Jakarta, Rabu (21/5/2008).



Wakil Presiden Jusuf Kalla lebih dulu datang melayat sebelum Presiden. Indonesia, katanya, memerlukan pemimpin seperti Ali Sadikin. ”Beliau itu pemimpin yang tegas. Apa yang dikatakan, dilaksanakan,” katanya.



Jenazah Ali Sadikin dibawa ke Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Dengan upacara militer yang dipimpin KSAL (saat itu Laksamana Sumardjono), sekitar pukul 13.45 jenazah tokoh Petisi 50 ini dimakamkan dengan cara ditumpangkan di makam istri pertamanya, Nani Arnasih, yang meninggal tahun 1986.

”Pemakaman ini memang permintaan almarhum Ali Sadikin, agar jenazahnya disatukan dengan istrinya, Bu Nani,” kata Fauzi Bowo, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.



Empat perwira tinggi, yaitu Mayjen Hendardji (TNI AD), Marsekal Madya K Hendro (TNI AU), Mayjen (Mar) Nono Sumpono, dan Irjen Aditya (Polri), membentangkan bendera merah putih di empat sisi liang lahat dan melipatnya.

Penghormatan militer yang dipimpin langsung KSAL ini merupakan bukti kecintaan TNI AL kepada penggagas pendiri Korps Komando (KKO) Angkatan Laut, yang sekarang menjadi Korps Marinir. Satu batalyon dari Korps Marinir Cilandak ”mengawal” kepergian Ali Sadikin ke tempat peristirahatan terakhir.



”Kita kehilangan putra bangsa yang baik, yang memegang teguh prinsip perjuangan,” kata KSAL.

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Beranda

Recent Comments